Pancasila sebagai proses dan produk

Pancasila sebagai proses dan produk

Pancasila sebagai proses dan produk

Setiap tahun kita memperingati hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni. Tanggal tersebut digadang sebagai hari lahir Pancasila karena Mantan Presiden Sukarno pada hari itu menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai dasar negara termasuk istilah ‘Pancasila’. Dalam ceramah tersebut, Sukarno menyebutkan pentingnya kemerdekaan politik dan menjadi suatu bangsa yang berkesatuan. Beliau menitikberatkan betapa pentingnya kemerdekaan karena “[d]i dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! …Di dalam Indonesia merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita!...Di dalam Indonesia merdeka kita melatih pemuda kita agar menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan—embatan emas—inilah kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.” (1) Ceramah ini merupakan salah satu pemikiran yang disampaikan kepada anggota Dokuritsu Junbi Chosa-kai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia, BPUKI) dalam kerangka pencarian “dasar negara” yang akan dijanjikan oleh pemerintah penjajah Jepang kepada elit Indonesia. Komite ini di resmikan pada tanggal 28 Mei 1945 dan kemudian dilanjut dengan acara konferensi yang menghadirkan tiga pembicara. Muhammad Yamin menyampaikan pikiran-pikiran berkenaaan dengan dasar negara pada tanggal 29 Mei 1945 dan dilanjut pada tanggal Mei 30 oleh Profesor Dr. Supomo. Sukarno menyampaikan pikiran-pikiran tentang dasar negara pada tanggal 1 Juni. Dengan demikian, pertemuan mulai tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945 baru menghasilkan pokok-pokok pikiran tentang dasar negara.

Perumusan Pancasila kemudian dimatangkan dalam Panitia Sembilan yang terdiri dari Bung Karno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wachid Hasjim, Abikuso Tjokrosuyoso dan Haji Agus Salim. Panitia Sembilan menghasilkan “rancangan pembukaan hukum dasar” yang kemudian dinamakan ‘Piagam Jakarta’ (2).  Dalam perumusan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, perumusan Pancasila menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, Kemanusiaan yang adil da beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (3). Versi Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI) mengalami perubahan pada sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Versi ini dianggap sumbangan terbesar putera dan puteri Indonesia dalam menghadirkan dasar negara yang dianggap inklusif bagi semua suku bangsa yang plural.

Setelah kemerdekaan, rumusan Pancasila setidaknya berubah pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) di tahun 1950. Rumusan Pancasila yang “autentik dan sah” diperlakukan kembali melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959 (4). Dalam pemerintahan Orde Baru, Pancasila sebagai dasar negara di Ketetapan MPRS no.XX/MRPS/1966 dan dalam Sidang Umum MPR 1973 dan 1978. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan pengukuhanya dalam kontek bernegara sudah barang tentu memberi solusi politik bagi penguasa. Upaya serupa telah banyak terjadi dan sejarah dan tidak mustahil teralami lagi. Namun demikian, politisasi Pancasila sebagai alat kekuasaan akan membuat Pancasila menjadi kaku dalam pemaknaan. Pancasila sebagai dasar negara memberi makna bagaimana pemerintah bisa mengejar nilai-nilai Pancasila supaya terwujudkan martabat manusia Indonesia sebagaimana diimpikan para pemimpin dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pancasila merupakan jembatan untuk ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan permusyawatan. Siapun yang menamakan dirinya penduduk Indonesia dimanapun mereka berada perlu menjadi bagian dari proses dan produk Pancasila yang membumi.   

 

Referensi

  1. Tim Penerbitan Buku Pancasila, Pancasila Bung Karno: Himpunan Pidato, Ceramah, Kursus, dan Kuliah (Jakarta, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005), 7.
  2. Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981), 2
  3. M. Fuad Nasar, Islam dan Muslim di Negara Pancasila (Yogyakarta: Gre Publishing, 2017), 22.
  4. Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, 30.

 

Comments
There are no comments yet.
Authentication required

You must log in to post a comment.

Log in