Bumiku Marah Padaku

Bumiku Marah Padaku

Bumiku Marah Padaku

Bumiku Marah Padaku

Oleh: Andrea Juliand

 

Renyah tawa mulai kadaluarsa

dikelilingi tembok bata, bahagia perlahan sirna

Hanya sisa wajah payah dan doa yang melangit lirih

Inginnya satu, sudahi semua ini atau kembalikan tahun sebelum tahun ini.

 

Dari tabung cahaya di dekat jendela,

ku lihat lidah api menari di atas rumah-rumah koala.

Tanah mereka porak poranda.

Langitnya jingga, panasnya maha!

Harap mereka satu: sang hujan datang.

Namun, menanti hujan seperti merindu kekasih yang dipanggil Tuhan.

 

Mataku lalu beranjak

Jiwa-jiwa sekarat dengan paru-paru rusak.

Jawatan dan jalanan sepi ditinggal penghuni

Tembok raksasa hilang perkasa.

 

Ibu pertiwi tak jauh beda

Kumulonimbus sering bertamu

Anaknya, badai dan puting beliung pun turut dibawa

Menyisakan wajah-wajah payah kehilangan rumah.

 

Bumiku marah

Dia guncang keras-keras daratan

Rumah dan sekolah rata tanah

Kapal-kapal ditelan lautan

Amarah hujan menanti burung besi

Genderang panas dan kemarau ditabuh keras

Virus dan penyakit sengit menggigit

Ekonomi dibunuh, negara lumpuh

 

Bumiku marah

Pada hamba uang dan selangkangan

Pada pelaku riba yang mengaku paling beragama

Pada pedagang yang suka main timbangan

Pada pejudi dan pemabuk hingga tubuhnya bungkuk

Pada pemimpin yang zalim

Pada buruh yang gemar mengeluh

Pada pejabat yang bermufakat jahat

Pada anak-anak yang durhaka pada orang tua

Pada orang tua yang lalai agama dan keluarga.

Padaku, yang jumawa, malas doa, padahal bukan siapa-siapa

 

Pada akhirnya, aku memang harus ditampar,

Untuk diingatkan bahwa tanah adalah rumah.

Tempatku pulang setelah main seharian

Tempatku masuk lalu membusuk,

menunggu dibangunkan untuk diadili.

author
Andrea Juliand
Author

Suka menulis, berceloteh, sedikit nyastra dan hal lain terkait otomotif.

Comments
There are no comments yet.
Authentication required

You must log in to post a comment.

Log in