Diskusi yang sedang menghangat dalam media saat adalah narasi “Cancel Culture.” Dalam kontek Amerika, gerakan “Cancel Culture” sering dikaitkan dengan meng-cancel narasi atau protes yang dianggap menantang penguasa, yang dianggap bertentangan dengan yang dipahami oleh kelompok tertentu, atau yang memiliki kekuasaan untuk mendiskreditkan kelompok yang membuat budaya respek yang baru. Menurut CNN, baru-baru ini misalnya ada kontroversi dimana President Trump mendisplay foto produk Goya setelah pemilik perusahaan ini menyatakan dukungannya kepada Mr. President (1). Masyarakat kemudian ramai-ramai memprotes dan mengajak pembeli untuk memboykot produk-produk Goya. Sebagai bentuk counter protes terhadap boykot maka ada sebutan “Cancel Culture.”
Awalnya, diskursus “Cancel Culture” juga digunakan untuk membunuh karakter eksistensi atau nama baik seseorang yang dianggap terlalu kritikal terhadap penguasa atau status quo. Misalnya, Eartha Kitt yang pada tahun Januari 1968 mengkirik pemeritah London B. Johnson yang memiliki kebijakan untuk mengirim tantara ke Vietnam (1). Sesudah memberi ceramah di dalam event yang diselenggarakn di Gedung putih dalam rangka makan siang dengan tema kriminalitas anak remaja, Kitt kemudian menjadi bulan-bulanan para agensi keamanan bahkan sampai-sampai kesulitan mencari pekerjaan. Penghapus (canceller) dalam hal ini agensi pemerintah dan yang dihapus (being cancelled) adalah individunya. Dengan demikian, budaya “Cancel Culture” ini sangat tergantung pada siapa yang mendefinisikan dan diuntungkan.
Fenomena “Cancel Culture” bisa hadir dalam berbagai masyarakat termasuk di Indonesia. Hal menurut saya parallel terhadap fenomena “Cancel culture” adalah munculnya protes dalam bentuk istilah “uninstall” atau juga ber-“hijrah.” Kata-kata “uninstall” digunakan dalam kontek kostestasi kekuasaan. Pernyataan “uninstall” bukalapak atau “uninstall feminism” menunjukkan ketidaksetujuan terhadap yang dianggap lawan politik dan juga pendukung pemikiran tertentu atau berbeda. Contohnya, ketika “uninstall” bukalapak marak, hal itu ada kaitannya dengan posisi lawan politik yang tidak sesuai dalam periode pemilihan presiden. Sementara istilah “uninstall feminism” mewacakan permusuhan terhadap manifestasi atau bentuk budaya-budaya yang dianggap Barat, luar, asing dan tidak sesuai untuk umat Islam atau yang secara ideologi berbeda dengan dipahami oleh pemprotes. Counter protes muncul memprotes protes “uninstall feminism”. Sebagi alternatif untuk men-cancel budaya feminisme, Barat, dan apapun yang dianggap tidak dan kurang Islam, istilah “hijrah” telah menjadi wacara pemikiran dan praktek baru dikalangan yang mengikutinya. “Hijrah” menjadi tolak ukur budaya baru dan meng-cancel budaya yang dianggap tidak Islami. Dengan adanya protes, counter protest, dan protes terhadap counter protes terbentuklah budaya “menghapus atau membatalkan.”
Kesimpulannya, budaya “menghapus atau membatalkan” muncul dalam konstalasi sekat-sekat politik. Budaya ini memiliki beberapa paradoks: Di satu sisi, (1) budaya menghapus sering diasosiasikan dengan kritik atas hegemoni teori dan praktik politik penguasa yang semena-mena dan kounter protes oleh pemerintah. 2. Budaya menghapus muncul di kalangan yang berusaha mengkounter narrative yang merugikan martabat kemanusiaan dalam system yang menindas dan narasi ini memunculkan kaunter protes dalam rangka menghapus ‘otentisitas’ (authenticity) pengalaman dihapus. 3. Budaya menghapus juga muncul dari komen-komen/gerakan yang berusaha merubah kondisi sosial dikarenakan adanya kesenjangan kekuasaan antara penghapus (cancellers) dan yang dihapus (being cancelled) baik dalam kontek mayoritas dan minoritas, yang bisa mendefiniskan atau tidak-bisa-mendefinisikan, atas yang bisa mendukung perubahan dan menginginkan status quo. Dengan demikian, budaya menghapus masih dalam proses pengembangan dan dikembangkan sesuai kontek yang berkembang.
Referensi
- https://www.cnn.com/2020/07/16/us/race-newsletter-july-16-trnd/index.html
Comments