Tafsir Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan

Tafsir Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan

Tafsir Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan

Perspektif atau sudut pandang sangat memengaruhi kita dalam melihat sebuah objek. Perspektif yang berbeda memungkinkan sebuah objek yang sama terlihat secara berbeda. Begitu pun perbedaan perspektif dalam melihat teks suci. Tentu teks suci sampai kapan pun tidak berubah. Namun sudut pandang pembacanya terus berubah seiring dengan perubahan pengalaman dan pengetahuannya.

Fakta bahwa ilmuwan dan ulama di berbagai bidang didominasi oleh laki-laki menunjukkan satu hal penting bahwa kebenaran yang berkembang dalam sistem pengetahuan, termasuk pengetahuan agama, baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki. Tentu keduanya sangat mungkin sama dengan apa yang dimiliki oleh perempuan, namun, belum meliputi pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.

Dominasi tafsir oleh mufasir laki-laki menunjukkan hal serupa. Sistem tafsir baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki dan belum mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Artinya, kemaslahatan Islam yang diderivasi dari ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya barulah kemaslahatan al-Qur’an dalam perspektif laki-laki dan untuk laki-laki. Apakah kemaslahatan tersebut pasti maslahat dalam perspektif dan untuk perempuan? Belum tentu!

Pengalaman suami memukul istri, jelas berbeda dengan pengalaman istri dipukul oleh suami. Begitupun pengalaman suami yang memiliki istri kedua tentu beda dengan pengalaman istri yang diduakan. Sementara, Islam memiliki cita-cita untuk menjadi anugerah bagi semesta, baik laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat yang mengandung asumsi bahwa perempuan adalah objek, seperti dalam ayat tentang pemukulan istri dan bidadari surga, atau subjek sekunder seperti dalam waris, kesaksian, dan poligami, agar mendatangkan kemaslahatan pula bagi perempuan sesuai cita-cita Islam? Inilah pertanyaan krusial yang sedang diikhtiyarkan untuk dijawab oleh Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan.

Keadilan Hakiki

Manusia sangat beragam dalam banyak hal. QS. al-Hujurat/49: 13 setidaknya mengingatkan kita akan keragaman jenis kelamin (dzakar wa untsaa), bangsa (syu’uub), dan suku (qabaa’il). Masing-masing keragaman ini mengandung keragaman lainnya (diversity within diversity). Kata bangsa mengandung keragaman warna kulit dengan gradasinya, postur tubuh, warna dan rambut, mata, hidung, dll. Begitu pun dalam kata suku yang bisa menjadi bagian dari keragaman bangsa juga mengandung keragaman lain. Misalnya bahasa sebuah bangsa yang bersifat nasional bisa memiliki aneka bahasa suku yang bersifat lokal. Keragaman juga ada dalam keragaman jenis kelamin. Kombinasi jenis kelamin, bangsa, dan suku ini akan melahirkan keragaman yang sangat banyak sekali.

Salah satu akar kezaliman adalah cara pandang yang menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan pihak yang kuat dan dominan untuk merendahkan pihak yang lemah dan rentan dilemahkan. Dalam bahasa al-Qur’an, pihak al-mala’ (pemuka kaum yang kuat dan dominan) menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan untuk merendahkan dluafaa’ dan mustadl’afin. Karenanya, al-Qur’an membangun kesadaran yang menegaskan bahwa perbedaan manusia, lebih-lebih yang manusia tidak ikut menentukannya saat lahir seperti jenis kelamin, bangsa, dan suku, bukanlah standar kualitas manusia. Manusia mesti memandang sesama manusia sebagai sama-sama manusia sehingga mesti saling bersikap secara manusiawi, apapun apapunnya. Standar nilai manusia hanyalah satu, yaitu taqwa, yakni sejauhmana komitmen Tauhid kepada Allah dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk dan pada manusia adalah saling bersikap manusiwi satu sama lain.

Cita-cita Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat (anugerah) bagi semesta. Sistem ini hanya mungkin terwujud jika manusia yang mengemban amanah sebagai Khaliifah fil Ardl mempunyai akhlak yang mulia sehingga seluruh ajaran Islam juga bermaksud menyempurnakan akhlak mulia manusia. Dengan demikian mempunyai perbedaan penting sistem yang zalim (tidak adil) dengan sistem yang Islami adalah sebagai berikut:

  1. Sistem yang zalim menjadikan kekuasaan yang dimiliki pihak kuat sebagai alasan untuk membolehkan mereka sewenang-wenang pada pihak lemah, karena itu ciri sistem yang Islami adalah pihak kuat meyakini bahwa kekuasaan adalah amanah Allah pada mereka untuk memberdayakan pihak lemah;
  2. Sistem yang zalim menuntut pihak lemah tunduk mutlak pada pihak kuat, karena itu ciri sistem yang Islami adalah pihak kuat dan lemah sama-sama hanya tunduk mutlak pada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama antara pihak kuat dan lemah;
  3. Sistem yang zalim sudah menjadi anugerah, tapi baru pada pihak yang kuat, karena itu ciri sistem yang Islami adalah menjadi anugerah juga bagi pihak lemah:
  4. Sistem yang zalim sudah menuntut akhlak mulia, tapi baru dari pihak lemah ke pihak yang kuat, karena itu sistem yang Islami adalah menuntut pihak kuat untuk berakhlak mulia pada pihak lemah juga;

Keadilan hakiki adalah keadilan yang tidak menjadikan pihak kuat dan dominan sebagai standar tunggal pihak yang lemah dan rentan. Karenanya, kondisi khas yang dimiliki oleh pihak lemah dan rentan, yang tidak dimiliki oleh pihak kuat dan dominan, diberi perhatian khsuus untuk dipertimbangkan agar keadilan bisa benar-benar mereka peroleh sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khasnya tersebut.

Keadilan hakiki tidak menjadikan orang kaya sebagai standar tunggal keadilan bagi orang miskin, orang sehat bagi orang sakir, orang dewasa bagi anak dan lansia, orang non difable bagi difable, kulit putih bagi kulit hitam, dan mayoritas apapun bagi minoritas manapun. Kondisi khusus orang miskin, sakit, anak, lansia, difabel, kulit hitam, minoritas bahkan diberi perhatian khusus untuk memastikan keadilan bisa benar-benar dapat mereka peroleh.

Di samping perbedaan, keragaman juga penting untuk diperhatikan secara khusus. Pihak lemah dan rentan tidaklah tunggal. Karenanya pihak terkuat dan terdominan di kalangan pihak lemah dan rentan juga tidak dijadikan sebagai standar tunggal bagi sesama pihak lemah dan rentan lainnya. Misalnya kelompok bisu tidak bisa dijadikan standar tunggal bagi kelompok buta karena masing-masing punya kondisi dan kebutuhan khusus yang berbeda.

Keadilan Hakiki Perempuan

Perempuan tentu saja mempunyai persamaan dan perbedaan dengan laki-laki dan juga keragaman perempuan. Dalam ikhtiyar memenuhi keadilan hakiki perempuan, persamaan mereka dengan laki-laki mesti diperhatikan. Misalnya sama-sama:

  1. Punya status melekat sebagai hanya hamba Allah dan amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl:
  2. Makhluk fisik, intelektual, dan spiritual yang nilainya sama-sama ditentukan oleh semaksimal apa menggunakan akal budinya agar tindakan bisa berdampak kemaslahatan bersama;
  3. Sama-sama pihak penting sebagai suami maupun istri dalam perkawinan, karena keduanya adalah berpasangan (zawaaj) yang bertanggungjawab untuk saling menjaga ketenangan jiwa (sakiinah) kedua belah pihak;
  4. Sama-sama anggota keluarga yang bertanggungjawab mewujudkan kemaslahatan keluarga sekaligus menikmatinya;
  5. Sama-sama anggota masyarakat yang bertanggungjawab untuk amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi khaira ummah:
  6. Sama-sama warga negara yang bertanggungjawab mewujudkan negara agar menjadi anugerah bagi seluruh warga negara bahkan semesta sehingga menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur;

Sama-sama manusia yang mesti saling bersikap dan disikapi secara halaalan, thayyiban, wa ma’ruufan (diijinkan agama, berdampak baik pada semua pihak, dan pantas dilakukan oleh makhluk yang berakal budi).

Di samping persamaan, perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga penting untuk dipertimbangkan agar tidak menjadikan laki-laki sebagai standar tunggal keadilan bagi perempuan. Minimal perbedaan keduanya sebagai manusia secara biologis karena perbedaan sistem reproduksi dan secara sosial karena sistem patriarki atau sistem yang meletakkan perempuan sebagai objek sedangkan laki-laki sebagai subjek, atau perempuan sebagai subjek sekudner sedangkan laki-laki sebagai subjek primer:

  1. Perbedaan pengalaman biologis perempuan, terutama lima ini: menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Kelimanya bisa berdurasi jam-jaman, harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan dan bisa dampak sakit (adzaa’), melelahkan (kurhan), bahkan wahnan ‘alaa wahnin (sakit/lelah berlipat). Bandingkan dengan pengalaman reproduksi laki-laki yang hanya mengeluarkan sperma dalam durasi menit bahkan detik dan dampak nikmat;
  2. Perbedaan pengalaman sosial perempuan. Perempuan rentan diperlakukan secara berbeda dengan laki-laki sehingga mereka rentan alami kezaliman hanya karena menjadi perempuan, terutama dalam lima bentuk ini: stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.

Keadilan Hakiki Perempuan adalah keadilan yang mengintegrasikan pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial. Pada prinsipnya, keadilan tidak boleh menyebabkan pengalaman biologis perempuan yang sudah sakit, lelah, bahkan sakit/lelah berlipat-lipat makin sakit, dan tidak boleh mengandung atau berdampak kezaliman apapun pada perempuan termasuk kezaliman hanya karena menjadi perempuan seperti di atas.

Keadilan Hakiki Perempuan juga mempertimbangkan keragaman perempuan sehingga tidak menjadikan satu perempuan sebagai standar bagi perempuan lainnya. Bahkan tidak menjadikan satu perempuan pada sebuah masa menjadi standar tunggal keadilan bagi perempuan yang sama di masa yang berbeda.

Tafsir dan Keadilan Hakiki Perempuan

Spirit Keadilan Hakiki Perempuan sangat kuat menjiwai al-Qur’an. Bahkan tidak hanya keadilan hakiki pada perempuan, melainkan pada siapapun yang berada dalam posisi lemah dan rentan dalam sebuah relasi. Namun demikian, spirit keadilan hakiki perempuan ini hanya akan terlihat jelas jika al-Qur’an dilihat sebagai sebuah sistem dan proses.

Al-Qur’an adalah sebuah sistem yang ayat-ayatnya terjalin berkelindan memberi petunjuk pada manusia dalam berserah diri sepenuhnya pada Allah (Islam) sesuai dengan status melakatnya sebagai hanya hamba-Nya dan amanah melekat dari-Nya sebagai Khaliifah fil Ardl. Sebagai sebuah sistem, al-Qur’an mempunyai tiga unsur petunjuk yang tersusun secara hierarkhis:

  1. Misi/cita-cita: mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, termasuk bagi perempuan;
  2. Fondasi Moral: prinsip dan nilai dasar dalam Islam seperti tauhid, iman islam, ihsan, keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, keselamatan, kesehatan, keamanan, perdamaian, kelestarian alam, dan semua nilai kebajikan yang mendorong manusia untuk menyempurnakan akhlak mulia mereka, termasuk akhlak mulia pada perempuan;
  3. Cara atau Metode: petunjuk praktis pragmatis untuk mengubah sistem kehidupan kongkrit selama masa pewahyuan untuk bergerak mendekati sistem kehidupan yang dicita-citakan oleh Islam.

Karena tersusun secara hierarkhis, maka unsur yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan unsur yang lebih tinggi. Dalam sistem apapun misi dan fondasi moral tidaklah berubah sehingga tidak boleh dinegosiasikan. Sementara cara atau metode, kadang tidak hanya boleh melainkan harus dinegosiasikan terutama jika perubahan sistem kehidupan yang terjadi menyebabkan pemahaman secara tekstual atas ayat tentang cara dan metode justru mendorong manusia untuk bergerak melawan misi atau bertentangan dengan fondasi moralnya. Negosiasi hanya boleh dalam kerangka misi dan fondasi moral Islam. Negosiasi dilakukan misalnya dengan pemahaman kontekstual.

Sebagai sebuah proses, al-Qur’an adalah petunjuk yang turun dalam sebuah masyarakat yang masih menormalkan penguburan bayi perempuan hidup-hidup, menjadikan perempuan sebagai harta yang diwariskan, dan poligami dengan jumlah istri tak terbatas dan tanpa syarat adil. Jika melihat cita-cita Islam atas kemanusiaan di mana laki-laki dan perempuan setara sebagai sama-sama hanya hamba Allah dan sebagai Khaliifah fil Ardl, maka kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an memberi petunjuk untuk bergerak memanusiakan perempuan dari objek (bukan manusia) menjadi subjek (manusia seutuhnya).

Atas dasar ini, ayat al-Qur’an bisa dibagi menjadi 3 macam:

  1. Titik Berangkat: ayat yang merefleksikan cara berfikir dan bersikap masyarakat yang masih melihat perempuan sebagai objek atau benda atau bukan sebagai manusia. Ini adalah cara berfikir dan bersikap yang akan diubah selama masa pewahyuan. Misalnya ayat tentang perempuan sebagai hiasan bagi laki-laki, dan ayat tentang bidadari surga;
  2. Target Antara; ayat yang merefleksikan titik kompromi antara cara pandang dan bersikap pada perempuan sebagai objek dan sebagai subjek penuh. Karenanya, ayat Target Antara ditandai dengan adanya asumsi bahwa laki-laki adalah subjek primer sedangkan perempuan adalah subjek sekunder sehingga nilai perempuan adalah sepersekian nilai laki-laki. Misalnya ayat tentang bagian waris anak perempuan dan kesaksian perempuan dalam utang piutang, juga ayat poligami;
  3. Tujuan Final: ayat yang merefleksikan kemanusiaan penuh laki-laki dan perempuan sehingga ada asumsi bahwa keduanya adalah subjek penuh sistem kehidupan. Misalnya ayat tentang Misi dan Fondasi Moral. Demikian pula ayat tentang monogami yang adil, bagian waris ayah dan ibu yang sama-sama 1/6 ketika anaknya yang wafat punya anak, dan kesaksian perempuan dalam sumpah li’an, yaitu sama-sama 5x sumpah.

Jadi al-Qur’an sebagai sebuah sistem ajaran memberikan petunjuk yang sangat lengkap dan menyeluruh dalam terus melakukan proses memanusiaakan manusia termasuk kemanusiaan penuh perempuan. Keadilan hakiki pada siapapun termasuk pada perempuan menghendaki cara berislam yang terus menerus bergerak menuju sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta termasuk bagi perempuan yang menjadi cita-cita Islam, dan dijiwai oleh fondasi moral Islam yaitu memuliakan akhlak manusia, termasuk akhlak pada perempuan.

Memahami al-Qur’an sebagai sebuah sistem dan proses seperti di atas sangat penting untuk mencegah kecenderungan tafsir manusia yang:

  1. Menjadikan al-Qur’an sebagai legaitimasi atas kezaliman pada perempuan yang sesungguhnya juga menjadi musuh Islam sebagaimana kezaliman lainnya;
  2. Menjadikan problem yang direspon oleh al-Qur’an sebagai cita-cita Islam;
  3. Menjadikan ayat-ayat yang sesungguhnya hanya Target Antara apalagi Titik Berangkat sebagai Tujuan Final;
  4. Mendorong masyarakat Muslim yang sudah mampu mendekati sistem kehidupan yang dicita-citakan oleh Islam bergerak mundur menjauhi.

Wallaahu A’lam bish-Shawaab

Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. (Dosen Ilmu Tafsir dan Al-Qur'an Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta)

Pamulang, 14 Februari 2021

Artikel ini telah terbit di https://ibihtafsir.id/2022/02/14/tafsir-perspektif-keadilan-hakiki-perempuan/

Comments
There are no comments yet.
Authentication required

You must log in to post a comment.

Log in