Apa sih feminisme liberal?
Sejarah feminisme liberal dalam kontek Barat cukup panjang. Walaupun kelahiran feminisme liberal sering kali dikaitkan dengan kontek golombang pertama (the first wave of feminism), ideologi feminisme liberal senantiasa hadir dalam berbagai gerakan yang hadir sesudahnya. Gerakan-gerakan feminisme yang baru senantiasa berdialog dengan feminisme liberal. Karena feminisme liberal sangat luas cakupannya, pengkotakan gelombang feminisme kesatu, kedua, dan ketiga terkadang tidak berguna. Dalam Istilah Zillah R. Eisenstein dalam The Radical Future of Liberal Feminism (1981), liberal feminisme senantiasa dalam posisi dialektis dengan bentuk-bentuk feminisme lainya.[1] Karena panjangnya sejarang feminisme liberal, saya akan memfokuskan tulisan ini pada pemaknaan istilah feminisme liberal, relasi antara liberalisme dan kapitalisme dalam pembentukan feminisme liberal, dan tema perjuangannya.
Rahasia di balik nama feminisme liberal
Istilah feminisme liberal sering mengundang kontroversi. Kata ‘liberal’ sering melahirkan ketidaknyamanan karena memberi kesan bertentangan dengan Islam. Liberal dalam bentukan feminisme liberal memang memiliki keterkaitan dengan liberalisme. Dalam sejarahnya, liberalisme bermuara pada pondasi landasan etis yang menekankan pada kebebasan individual dalam kontek kompetisi pasar dimana setiap orang bisa bersaing dan mampu menghasilkan keuntungan. Etika liberalisme ini menitikberatkan tentang adanya teori kebebasan (freedom) dan adanya kemungkinan untuk memaksimalkan kebebasan (liberty) bagi semua anggota masyarakat.[2] Teori etika liberalisme ini makin menemukan bentuk yang berbeda-beda seiring dengan proses sekularisasi di Barat dan juga perbedaan bentuk perealisasian diri dalam pengembangan moral, sosial, dan pribadi perorangan. Proses sekularisasi yang bermula pada zaman pencerahan dan penekanan rasionalitas pada hidup manusia membentuk perjalanan etika liberalisme. Hal ini menegaskan bahwa kebebasan individu bisa mendorong dinamisme pasar dan semangat entrepreneurship sehingga menguatkan bentukan laissez-faire —kurangnya campur tangan pemerintah atau aturan—dalam urusan ekonomi dan masyarakat.[3]
Liberalisme yang digambarkan Bellamy ini melatarbelakangi pembentukan feminisme liberal. Salah satu dimensi yang berkontribusi dalam pembentukan feminisme liberal adalah sekularisasi institusi patriarki dan pada saat yang sama melahirkan model patriarki yang baru. Para pemikir liberal seperti John Locke (1632-1704) menyatakan ketidaksetujuan terhadap premis ketentuan politik dimana “kuasa ayah diberikan oleh Tuhan.[4] Locke berargumen bahwa relasi sosial dalam masyarakat bourgeois dimana individu dianggap memiliki kebebasan (freedom) dan kesetaraan dalam memiliki kekayaan di dalam dunia publik tidak sesuai dengan definisi patriarki yang menekankan kepemimpinan Tuhan, ayah, dan raja sebagai norma.[5] Walaupun Locke terdengar sangat antuasiastik dalam menolak patriarki yang menekankan wibawa dan nuansa laki-laki mulai dalam ranah ketuhanan, keluarga dan kerajaan, dia kelihatannya masih berpihak pada kebebasan individu untuk laki-laki dalam kontek pasar dan publik. Perempuan dalam kontek ideologi liberalisme ini masih dianggap sebagian dari kuasa patriarki dalam keluarga dimana perempuan memiliki kepentingan dalam reproduksi dan kepengurusan anak-anak. Selain dari tugas tersebut, keabsenan perempuan dari dunia publik masih bisa ditoleransi.
Pemikiran John Locke di Inggris tidak jauh berbeda dengan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) di Prancis. Bila Locke menegaskan penolakan patriarki yang tidak sesuai dengan bentukan masyarakat laki-laki yang bebas dan bisa berkompetisi dalam akumulasi kekayaan, Rousseau menekan kebebasan yang terkontrol dalam ikatan aturan negara sehingga memberi kebebasan individu dan pada saat yang sama bisa mengontrol ekses ekonomi kelas bourgeois dan ketaatan perempuan. Einstein merujuk pada pendapat Rousseau mengenai perempuan dimana perempuan didefinisikan sebagai ancaman bagi moralitas laki-laki.[6] Kebebasan dalam pemahaman Rousseau berkaitan dengan kemampuan untuk menahan diri bagi laki-laki sehingga mereka menjadi makhluk yang rasional. Menurutnya, laki-laki seringkali menjadi tidak rasional ketika jatuh pada cumbu rayu perempuan dan jadinya tersihir oleh control perempuan. Untuk itu, perempuan perlu tetap didominasi dan didomestikasi.
Mary Wollstonecraft hadir di tengah-tengah pergolakan pemikiran yang memojokkan peranan perempuan di publik. Wollstonecraft dalam bukunya berjudul A Vindication of the Rights of Women mengajukan dua argumen untuk menerangkan peran perempuan dalam masyarakat liberal: (1) kesetaraan untuk kebebasan dan individu perlu diekstensi terhadap perempuan; (2) rasionalitas bukan hanya karakter bagi laki-laki, tetapi hal yang sama berlaku juga untuk perempuan; dan (3) keanggotaan laki-laki dalam masyarakat bourgeois yang berdasarkan merit harus memasukkan perempuan di dalamnya.[7] Wollstonecraft menegaskan perlunya menentang beberapa asumsi yang merugikan perempuan, termasuk pernyataan-pernyataan (1) bahwa perempuan merupakan makhluk yang inferior dibandingkan laki-laki dikarenakan jenis kelamin mereka adalah perempuan; (2) bahwa perempuan harus menggantungkan hidupnya pada laki-laki karena mereka perempuan; dan (3) bahwa hanya laki-laki yang dianggap pantas dalam dunia publik dikarenakan mereka memiliki rasionalitas, kebebasan, dan akses pada kekayaan. Dengan pemikiran-pemikiran yang agresif dan radikal pada zamannya dari Wollstonecraft, ide-ide kesetaraan perempuan mulai memasuki ranah liberalisme. Dari sinilah feminisme liberal bermuara.
Interseksi antara liberalisme dan feminisme
Perkembangan ide-ide tentang martabat individual dan kebebasan berkelindan dengan penyebaran kesadaran untuk liberalisasi manusia (laki-laki) dari praktek-praktek yang sifatnya menindas manusia (laki-laki) seperti perbudakan (slavery) dan mengelevasi liberal kapitalisme terutama di daerah jajahan-jajahan Eropa atau yang mewarisi penjajahan tersebut seperti Amerika. Upaya memperluas penghapusan praktek perbudakan dan inklusi perempuan di dunia publik berakibat juga terhadap gerakan perempuan terutama di Amerika. Hole and Levine berpendapat bahwa gerakan perempuan erat kaitannya dengan pembebasan perbudakan. Pada tahun 1830s dua bersaudara Sarah dan Angelina Grimke—lahir dan besar dalam keluarga yang memiliki budak di daerah Selatan Amerika— menyadari bahwa perempuan tidak memiliki suara politik yang setara di dunia publik. Mereka dengan berani pindah dari Amerika bagian Selatan ke Bagian Utara. Mereka juga berani menyampaikan ide-ide yang menentang praktik perbudakan termasuk dalam keluarganya sendiri. Pilihan mereka ini sudah tentu menimbulkan ancaman dan tantangan.[8] Bahkan, ada juga yang membawa-bawa kitab suci seperti Perjanjian Baru untuk menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan perempuan untuk bergantung, bahwa kelebihan perempuan terletak pada kelemahannya supaya dilindungi, dan bahwa laki-laki secara natural lahir sebagai pemimpin. Dengan penggunaan retorika dari kitab suci ini, feminisme juga nantinya berkembang menjadi feminisme teologis terutama di kalangan perempuan penganut Kristen.
Interseksi antara gerakan perempuan dan gerakan perjuangan penghapusan perbudakan nampak juga dalam pengalaman Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka berdua menghadiri Konvensi Perbudakan Tingkat Dunia di Inggris pada tahun 1840. Dalam acara yang bergengs ini, perempuan kehadirannya tidak dianggap bahkan mereka disingkirkan dari arena-arena perdebatan penting. Mereka berpendapat bahwa para laki-laki yang radikal dalam memperjuangkan kebebasan para laki-laki yang diperbudak, namun mereka masih mendiskriminasi terhadap terhadap perempuan. Sepulang dari Inggris, Mott dan Stanton terus memperjuangkan gerakan penghapusan perbudakan dan menuntut perempuan agar diberikan hak-haknya. Mengadakan acara Konvensi Hak-Hak Perempuan di kota bernama Seneca dan kemudian menghasilkan “The Declaration of Sentiments.”[9]
Tuntutan perempuan atas hak-haknya
Kehadiran “The Declaration of Sentiments” memberikan gambaran mengenai keadaan perempuan pada tahun 1848. Para deklarator ini berargumen bahwa perempuan merupakan makhluk ciptaan Tuhan dengan hak-hak yang tak terpisahkan dari dirinya baik untuk hidup, kebebasan dan bahagia. Hak-hak dari Tuhan ini dalam kontek bernegara menjadi tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, pemerintah Amerika gagal dalam melindungi perempuan dari kesenjangan sosial, pendidikan, dan politik dan ketidakadilan dalam keluarga. Perempuan tidak mendapatkan hak pemilih, dipaksa taat hukum yang tidak berpihak pada mereka, dan tidak diberi hak-hak yang ternyata diberikan pada laki-laki dan bahkan laki-laki asing. Perempuan juga tidak diberi hak-hak untuk berpenghasilan bahkan akses pada kekayaan. Kalau perempuan menikah, mereka dianggap mati secara civil. Perempuan dalam pernikahan tidak sepenuhnya dianggap moralitasnya karena mereka diperbolehkan berlaku yang tidak bermoral asal suami mengetahuinya dan mengizinkannya. Mereka juga dipaksa untuk taat karena hukum yang dibuat oleh laki-laki dan yang memperbolehkan laki-laki berbuat semena-mena. Para laki-laki juga menciptakan piranti perceraian dan hal-hal yang dianggap memperbolehkan perceraian termasuk pemberian hak asuh kepada laki-laki. Semua kegelisahan ini menggambarkan keadaan Amerika sebagaimana diungkapkan oleh perempuan-perempuan yang menandatangani Deklarasi.
Sebetulnya tuntutan terhadap kesetaraan perempuan di ranah publik sudah mulai diadvokasikan oleh Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill (1806–73), dan Harriet Taylor Mill (1807–1858). Sebagaimana dirangkum oleh Tong dalam Feminist Thought: A Comprehensive Introduction, Wollstonecraft menyampaikan visi tentang perempuan supaya bisa kuat dalam pikiran dan badannya, independent, tidak bergantung sama suami, dan memiliki kebebasan civil sebagaimana laki-laki. Dia melihat visi ini bisa tercapai dengan pendidikan. Sama halnya dengan Wollstonecraft, Mill memperkenalkan pentingnya pendidikan perempuan dalam tulisan yang berjudul “The Subjection of Women” (1869). Dia menyadari bahwa perempuan terkadang akan tetap mengedepankan menikah dan keibuan dibandingkan pendidikan, kesempatan ekonomi dan kebebasan civil walaupun kesempatan tersebut sama dengan laki-laki. Taylor yang juga istri Mill, menekankan pentingnya perempuan untuk berkarir di luar rumah dan menyeimbangkannya dengan kepentingan keluarga atau keibuan.[10] Dilihat dari upaya advokasi para feminis liberal ini, topik-topik yang menjadi pembicaraan mereka berkenaan dengan pendidikan perempuan, pola berkeluarga, hak memilih, dan juga dilemma karir. Tema-teman seringkali sangat dominan di kalangan penganut feminisme liberal.
Isu dalam keluarga, misalnya mencuat kembali ketika Betty Friedan (1921-2006) menerbitkan The Feminine Mystique.[11] Dia melihat adanya gerakan untuk menggiring perempuan Amerika supaya kembali ke ranah domestik melalui institusi pernikahan dan keibuan. Kedua institusi ini dianggap akan memfasilitasi perempuan untuk menemukan kebahagiaan. Friedan menamakan phenomena ini sebagai “the feminine mystique.”[12] Salah satu argumen yang digunakan dalam memanggil perempuan untuk kembali ke rumah adalah anggapan bahwa peranan perempuan dalam keluarga merupakan hal yang natural. Idealisasi kefemininan ini muncul dalam majalah, program TV, dan siaran dalam radio. Dengan saratnya cengkraman ideologi ‘magis femininitas’ ini, maka tidak heran kalau gerakan domestikasi perempuan ini berlangsung cukup lama.
Lamanya gerakan ‘mistis femininitas’ ini berkaitan dengan ideologi kapitalisme. Friedan menemukan bahwa panggilan terhadap perempuan untuk masuk kembali ke dalam rumah sarat dengan berbagai misi capitalis. Disinilah, keterkaitan antara perjuangan feminisme dan kapitalisme saling berkelindan. Phenomena magisasi perempuan dalam rumah ini bukan hanya berkaitan dengan psyche dan martabat perempuan, tetapi juga erat kaitannya dengan roda kapitalisme. Pertama, iklan-iklan dalam majalah, TV, dan apotek dipenuhi oleh produk-produk yang berkaitan dengan pembentukan feminitas perempuan. Kedua, produk-produk yang dijual dan berkenaan dengan dekorasi rumah menjadi meningkat. Friedan terutama menyebutkan design interior dapur dan isinya banyak diiklankan dan dijual. Ketiga, perempuan juga banyak terlibat dalam home industry terutama yang berkaitan dengan mesin jahit. Akibatnya, banyak mesin jahit, alat-alat jahit, kain dan lainnya terjual. Feminisasi perempuan sebagai bentukan sosial yang ideal berlangsung bisa bertahan puluhan tahun dari mulai akhir perang dunia kedua hingga tahun 1960-an karena gerakan ini berkelindan dengan Raihan keuntungan ideologi kapitalisme.
Walaupun para perempuan Amerika banyak tersihir dengan kekuatan ‘mistis femininitas,’ ideologi ini telah banyak melahirkan fenomena sosial baru.[13] 1. Banyak perempuan lulusan sekolah menengah yang menikah dan punya anak banyak; 2. Menurunnya jumlah perempuan yang kuliah dan otomatis berpengaruh terhadap jumlah perempuan yang berkarir di dunia publik; 3. Munculnya paradigma baru mengenai “American wife dan mother” yang ideal dimana mereka hidup hanya berdedikasi terhadap keluarga, suami, dan anak-anak. Para perempuan ini digambarkan hidup dalam kesenangan dimana mereka memiliki suami yang setara dan punya akses terhadap mobil, pakaian, peralatan dapur, dan supermarket. Mereka bekerja dengan senang hati sebagai ibu rumah tangga. Kalau pun mereka bekerja dari rumah, uangnya bisa bantu membayar gaya hidup dimana suami bisa kuliah, menguliahkan anak dan juga membayar cicilan-cicilan lainnya. Mereka hanya bergelut memikirkan keluarga karena laki-laki yang bertanggung sebagai pemimpin dan akan memimpin perubahan dalam keluarga dan masyarakat.
Meskipun para perempuan kelas menengah ini nampak bahagia dan hidup dalam kemudahan dengan adanya teknologi untuk memasak dan cuci baju dalam rumah, mereka banyak merasakan kehampaan dalam keluarga dan merasa tidak bahagia. Namun, perasaan dan kehampaan ini tidak ada “nama”nya. Dilema ini melahirkan gerakan “consciousness raising”—kesadaran akan jati diri perempuan—dimana perempuan digambarkan bisa berperan personal, familial dan sosial dan gerakan feminisme lainnya. Gerakan untuk mendiskusikan ideologi “mistis femininitas” kemudian dianggap pemicu kegairahan haru dalam feminisme secara umum.
Kesimpulan
Kelahiran ideologi “mistis femininitas” mengingatkan kembali isu yang berkenaan dengan akses terhadap pendidikan, persamaan hak atas dunia publik, dan dilemma dalam keluarga. Walaupun topik-topik ini bervariasi, feminisme liberal seringkali mengutamakan kompatibilitas dengan sistem yang ada dalam patriarki dan kapitalisme. Dilema ini kemudian memunculkan dan berkelindan dengan gerakan feminisme radikal, feminisme Marxist, feminisme kolonial, dan lain-lainnya. Namun, yang menonjol dari feminisme liberal berkaitan dengan institusi keluarga dan hak-hak perempuan di dunia publik. Manifestasi dari feminisme liberal kemudian beragam dan sesuai dengan konteks dimana ide-ide baru dilontarkan. Jadi, ketika berbicara mengenai feminisme liberal, tidak ada keseragaman. Isu-isu dalam feminisme liberal lahir sesuai dengan zaman, situasi, dan kondisi perempuan dalam kelas dan ras dimana mereka berada.
Prof. Etin Anwar
Geneva, 20 Februari 2022
[1] Zillah R. Eisenstein, The Radical Future of Liberal Feminism (Boston: Northeastern University Press, 1981), 3.
[2] Richard Bellamy, Liberalism and Modern Society (University Park, Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1992), 2.
[3] Bellamy, Liberalism and Modern Society, 5.
[4] Einsentein, The Radical Future of Liberal Feminism, 33.
[5] Ibid., 38.
[6] Eisenstein, The Radical Future of Liberal Feminism, 56.
[7] Eisenstein, The Radical Future of Liberal Feminism, 91-92.
[8] Judith Hole and Ellen Levine, “The First Feminists,” in Women: A Feminist Perspective, ed. Jo Freeman (Palo Alto, California: Mayfield Publishing Company, 1979), 545.
[9] https://www.nps.gov/wori/learn/historyculture/declaration-of-sentiments.htm (Akses 19 Februari 2022).
[10] Rosemarie Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction (Boulder, San Francisco, Westview Press:1989)
[11] Miriam Schneir, Feminism in our time: The Essential Writings, World War II to the Present (New York: Vintage Books, 1994), 49.
[12] Ibid.
[13] Ibid., 53-59
Comments