Ketahanan keluarga merupakan salah satu pilar kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Ketahanan sering didefinisikan sebagai pertemuan dimensi fisiologis, psikososial, dan spiritual manusia dan masyarakat dalam menangani kondisi yang sangat berat maupun ringan, dalam menjaga keutuhan diri dari hal-hal yang bisa merusak dan membahayakan, dan dalam menyesuaikan diri atas tantangan-tantangan yang datang dan mampu mengambil hikmah atau pelajaran yang baik (1). Keluarga dianggap merupakan salah satu faktor yang bisa mengasah anggotanya untuk bisa bertahan hidup, berbagi dengan sesama karena kedekatan, dan menumbuhkan keinginan untuk membantu dan mengayomi. Namun demikian deskripsi ideal tentang keluarga juga berhadapan dengan resiko-resiko yang mau tidak mau bisa menantang seseorang untuk bisa bertahan hidup. Resiko-resiko yang muncul dalam keluarga bisa berbentuk perceraian, penyelewengan, poligami, perkosaan, kekerasan dalam keluarga, kekurangan uang, dan bentuk-bentuk kepahitan lainnya. Ketahanan maupun resiko kehancuran keluarga erat kaitannya dengan bentuk relasi dalam keluarga baik berbentuk hirarki dan co-existensi.
Relasi hirarki dalam keluarga biasanya berlandaskan pada pemahaman sumber-sumber agama secara literal. Dirkursus hubungan yang hirarki muncul dalam pemahaman ayat Quran seperti An-Nisa:34 sebagai berikut (2):
Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian dari yang lain, dank arena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Sebab itu perempuan-perempuan yang baik ialah perempuan-perempuan yang patuh dan manjaga dirinya di pembelakangan suaminya sebagaimana disuruh jaga oleh Allah. Dan peremuan-perempuan yang kamu kuatir akan durhaka, berikankah pengajaran yang baik, dan hukumlah dengan dengan memisahkan tempat tidurnya dan kamu pukul mereka. Jika mereka telah menurut, janganlah kamu cari jalan untuk merugikannya, sesunnguhnya Allah itu Tinggi dan Besar.
Paradigma “Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan” menjadi norma dalam masyarakat demi tercapainya keluarga sakinah dan tahan banting atas resiko-resiko yang bisa terjadi dalam pernikahan. Menurut Profesor Euis Sunarti seorang Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga/ Pendiri GiGa (Penggiat Keluarga Indonesia), institusi keluarga dalam kontek Indonesia sangat penting. Dalam masa pandemi, keluarga merupakan faktor pelindung dalam “melakukan reorientasi nilai dan tujuan hidup, refungsionalisasi, dan melejitkan kapasitas dan keberdayaannya” (3). Munculnya keluarga sebagai sumber ketahanan dalam mengatasi kesulitan pandemi ini, menurut beliau, berkaitan erat dengan paradigma model keluarga yang hirarki. Model keluarga yang hirarki ini memaknai peranan laki-laki dan perempuan berlandaskan pada fitrah manusia dimana laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan yang dipimpin. Profesor Euis menegaskan bahwa (3)
Keluarga hirarkis menguat pada masa pandemi, yaitu menerima laki-laki sebagai kepala keluarga dan menjadikan agama sebagai landasan keharmonisan interaksi keluarga. Hal tersebut sesuai dengan landasan filosofis dan landasan yuridis (Undang-Undang Perkawinan) yang mengatur bentuk keluarga hirarkis dan relasi harmonis, sehingga secara sosiologis telah mengakar dan kokoh diimplentasikan dalam kehidupan berkeluarga di Indonesia.
Dengan kuatnya fondasi keluarga hirarki ini, maka diharapkan model keluarga seperti ini bisa dipertahankan karena bisa menjadi “instrument landasan pembangunan ketahanan keluarga Indonesia dalam menghadapi tantangan global dan perubahan zaman” (3).
Model keluarga hirarki memang telah mengantar sebagian perempuan-perempuan dan laki-laki yang memiliki keistimewaan sosial, ekonomi dan politik (social, economic, and political privilege) untuk menjadi tahan banting. Sebagian perempuan pun bisa sukses “dalam menjadi” di berbagai kapasitas mulai dari petani hingga mentri dan pedagang hingga dosen. Bahkan banyak perempuan yang diuntungkan oleh paradigma hirarki karena hubungan kekerabatan (kinship) dan perlindungan (patronage) yang memudahkan sebagian perempuan untuk bisa lebih sejahtera dibandingkan dengan perempuan lainnya baik secara karir maupun kehidupan sehari-hari. Paradigma hierarki juga diperkuat oleh kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru yang menempatkan perempuan sebagai “pembantu kesuksesan suami” dalam ranah publik sehingga sumbangan perempuan didefinikan hanya berdasarkan jenis kelamin. Tidak mengherankan kalau Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia tahun 1974 merefleksikan paradigma hirarki. Paradigma ini diperkuat dalam berbagai kelompok agama dan gerakan perempuan yang dibuat pemerintah dengan memisahkan perempuan dari dunia publik sehingga perempuan hanya dinilai berdasarkan peranan isteri dan keibuan. Julia Suryakusuma menggambarkan institutionalisasi pemerintah order baru dalam mendisiplin perempuan sebagai bentuk ideologi state ibuism (4).
Konsekuensi dari paradigma hirarki dalam keluarga dan negara ini memunculkan budaya dimana perempuan senantiasa perlu ditempatkan pada tempatnya. Hukum-hukum Perda yang dilahirkan setelah masa reformasi mencerminkan kebutuhan dimana perempuan perlu tahu tempat dan cara menampilkan dirinya di tempat tersebut. Misalnya, cara berpakaian dan perilaku perempuan di publik sering menjadi landasan bagaimana hukum-hukum diciptakan untuk mempertahankan status quo hirarki. Sebagai akibat dari system hirarki ini, kesenjangan sosial laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Konsekuensi dari paradigma hirarki dalam keluarga dan negara ini memunculkan budaya dimana perempuan senantiasa perlu ditempatkan pada tempatnya. Hukum-hukum Perda yang dilahirkan setelah masa reformasi mencerminkan kebutuhan dimana perempuan perlu tahu tempat dan cara menampilkan dirinya di tempat tersebut. Misalnya, cara berpakaian dan perilaku perempuan di publik sering menjadi landasan bagaimana hukum-hukum diciptakan untuk mempertahankan status quo hirarki. Sebagai akibat dari system hirarki ini, kesenjangan sosial laki-laki dan perempuan sangat berbeda. World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menempati ranking 85 dari 153 negara yang disurvey di dunia ini (5). Indonesia menempati peringkat 68 untuk partisipasi ekonomi, 105 untuk edukasi, 79 untuk kesehatan, dan 82 untuk pemberdayaan politik. Dengan peringkat kesenjangan sosial yang tinggi ini, ada pertanyaan yang tersisa: “Apakah paradigma hirarki merupakan satu-satunya model yang Islam telah tawarkan?” Barangkali pertanyaan ini bisa dikaitkan dengan pemahaman Islam, kebijakan pemerintah, dan penerimaan budaya hirarki sebagai norma dalam masyarakat.
Referensi
1. Craig Steven Titus, Resilience and the virtue of fortitude: Aquinas in Dialogue with the Psychosocial Sciences Book (Catholic University of America Press, 2011), 29.
2. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Quran (Jakarta: Widjaya, 1979).
3. https://republika.co.id/berita/qcpr9z469/pandemi-covid19-dan-spirit-baru-berkeluarga
4. https://www.insideindonesia.org/is-state-ibuism-still-relevant-2
5. http://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2020.pdf
Comments