Banyak hal yang terjadi dalam suasana Covid-19. Salah satunya adalah cara kita menghadapi waktu yang ada dan kegiatan yang ingin kita lakukan. Semenjak bulan Maret, kampus-kampus mulai tutup dan perkuliahan mulai dilakukan online. Ketika semester berakhir, saya ingat waktu itu bulan puasa. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat kita selama bulan puasa telah berubah pula. Hampir di seluruh penjuru dunia, umat Islam diajak untuk bertarawih, bertadarus, dan beribadah secara umumnya di rumah. Ketika lebaran datang, para ulama menetapkan untuk berlebaran di rumah. Di Indonesia khususnya, umat Islam diaserukan untuk tidak mudik. Seruan ini disertai dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Secara otomatis, lebaran tanpa mudik menjadi salah satu dasar untuk kebiasaan baru.
Kebiasaan baru yang dirasakan sangat besar pengaruhnya adalah menjamurnya pembelajaran online. Walau pembelajaran online senantiasa meninggalkan problema ketidakadilah, cara seperti ini juga mempercepat transfer ilmu kepada sesama. Pada saat yang sama, percepatan transfer ilmu bisa memberikan kesempatan untuk saling membantu satu sama lain dan berbagi untuk sesama. Saya secara pribadi dalam sepuluh tahun terakhir telah ikut berpartisipasi untuk berbagi dengan sesama di Indonesia melalui program-program yang telah difasilitasi oleh pemerintah bagi diaspora. Melalui program-program yang dilakukan di berbagai daerah dan perguruan tinggi telah menciptakan berbagai network, saya mengabadikan hubungan yang terbina diantaranya dalam group yang saya namai Interdisiplinary network. Nama ini sangat penting sebagai indikator dari pertemuan berbagai orang dengan latar belakang yang keilmuwan yang berbeda-beda. Namun akhirnya nama tersebut dirubah kepada reducates yang menggambarkan minat dalam riset, pendidikan, karir, teamwork, dan pengadian.
Reducates kemudian menjadi nama yang dipilih menggantikan “Interdisciplinary network” dan dipakai sebagai plaftform mengembangkan moto “long-life learning community for just humanity.” Semangat belajar seumur hidup sudah tentu terinspirasi oleh pertemuan dua budaya: Islam dan barat. Dalam ajaran slam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk belajar dari mulai buaian hingga akhir hayat. Sementara itu, di dalam dunia pendidikan barat, tujuan mengajar adalah untuk membangkitkan semangat belajar seumur hidup dalam diri mahasiswa dan mahasiswi. Dalam Reducates, kecintaan terhadap belajar, riset, dan training diharapkan akan membangun keunggulan (excellence), mengbangkitkan kebijakan (wisdom), menyemangati semangat dialog dan kerjasama (civic engagement), dan melahirkan kebaikan (maslahat) untuk kemanusiaan yang adil. Reducates sebagai program bersinergis dengan kegiatan lainnya yang telah dilakukan dalam yayasan Global Aliya Indonesia (https://globalaliyaindonesia.org/id/). Yayasan ini semenjak 2012 telah melalukan berbagai kegiatan training dan pembelajaran informal bagi anak setingkat TK, SD, SMP, dan SMA maupun umum. Melalui program-program yang ditawarkan, Yayasan Global Aliya berupaya untuk memupuk keunggulan (excellence), kepedulian (compassion), dan pengabdian (service).
Kegiatan Reducates dalam bentuk webinar digagas dalam wacana era Covid-19. Awalnya, saya dan Kang Shalahudin mendiskusikan bentuk webinar yang bisa bermanfaat dalam rangka Ramadan. Saya juga mendapatkan masukan-masukan berarti dari Ipang dan Indah. Ipang, saya memanggilnya, yang aktif di program mentoring Bahasa Inggris yang diajarkan oleh Klub mahasiswa di kampus Hobart and William Smith Colleges, bernama One-on-One Friendship, membantu menerjemahkan visi Reducates yang saya rumuskan dalam Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia menjadi belajar sepanjang hayat. Indah, yang saya kenal melalui kegiatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, menerjemahkan Reducates dalam kerangka kegiatan-kegiatan di Indonesia. Dalam jalinan team work ini, Reducates berusaha menyuguhkan webinar yang inspiratif dan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan keunggulan (excellence), kepedulian (compassion), dan pengabdian (service).
Comments