Pada tanggal 14 Maret 2021, Reducates berencana untuk mengadakan Dialog Inspiratif # 43 pada jam 19:30-21:30 WIB dengan tema “Otoritas Label Radikal dalam Wacana Islam Indonesia.” CNN Indonesia dalam laporannya menyatakan: “Sejumlah alumni Institusi Teknologi Bandung (ITB) yang tergabung dalam Gerakan Anti Radikalisme (GAR) mendesak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk menjatuhkan sanksi kepada mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku terkait radikalisme.” (1) Penggunaan istilah radikal ini secara genealogis menarik untuk dicermati. Istilah radikal bisa dikaitan dengan tendensi teologis untuk mengejewantahkan nilai-nilai agama secara literal dan penekanan untuk menerjemahkan agama sebagai fondasi politik dalam berorganisasi dan mencapai tujuan reformasi sosial. Dalam kontek Indonesia, bentuk radikalisme politik dan teologis bermula dengan munculnya gerakan sosial keagamaan yang ingin membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan dan mencapai derajat kemanusiaan yang bebas dari ketertindasan. Dalam kontek ini, kata-kata radikal memiliki konotasi positif karena keberanian para aktivis nasional yang neutral agama dan yang orientasi Islam berjuang untuk merubah penjajahan menjadi kemerdekaan.
Cara pandang terhadap yang dipandang radikal memerlukan kontek. Sebagai contoh, cara kita membaca gerakan yang dimotori oleh Kartosuwiryo sering bermuara pada pemberontakan yang dilakukan dengan membentuk negara Islam. Sejarahwan Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional (1945-1965) (Jakarta: Grafiti Press, 1987) memiliki pendapat yang berbeda dalam menanggapi fenomena Kartosuwiryo. Menurutnya, sisi lain dari Kartosuwiryo adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang memiliki pendapat politik yang berbeda pada saat genting 1945-1949. Kartosuwiryo mendirikan negara Islam karena pemahaman beliau bahwa Indonesia ini bubar kalau pemerintah bernegosiasi dengan Belanda. Pendirian Darul Islam terjadi pada tahun 1948. Sudah barang tentu, kita semua setuju bahwa NKRI harga mati dan model radikalisme yang anti negara kesatuan tidak bisa diterima. Paham yang disampaikan oleh Kartosuwiryo tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks ini, politik radikal memiliki otoritas untuk diatribusikan kepada ancaman terhadap NKRI.
Pada saat yang sama, umat Islam yang diwakili pemimpin Muslim saat itu ikut merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa ulama bahkan boleh dikatakan memiliki paham yang radikal. Misalnya, perwakilan Muslim dalam Panitia Sembilan ujung-ujungnya menyutujui penghapusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Haji Agus Salim, Kyai Wahid Hasjim, Abikusno, and Abdoul Kahar Moezakkir, saat itu boleh dikatakan cukup radikal karena menyetujui penghapusan kata-kata shariah. Dalam konteks ini, kalau dilihat kebutuhan Muslim saja, banyak banyak Muslim nasionalis yang sangat ingin Islam mewarnai Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Namun sikap radikal mereka dalam memahami Islam yang berorientasi terhadap kepentingan umum dalam lokalitas Indonesia telah bersumbangsih terhadap kemerdekaan Indonesia.
Pointnya adalah kita tidak bisa mengkategorikan semua bentuk yang dianggap radikal serta merta sebagai ancaman terhadap negara. Dalam kontek mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para ulama dari Nahdlatul Ulama dan Masyumi mengajak masyarakat untuk berjihad melawan penjajah. Ajakan ini sesuai dengan konteks saat Belanda dengan dukungan negara-negara sekutu bermaksud untuk menjadikan negara federal di bawah Belanda. Kalau saja para ulama, pendiri kemerdekaan, dan rakyat Indonesia yang waktu itu membentuk berbagai laskar tidak memperjuangkan dengan semangat merdeka mungkin Belanda masih tetap berkuasa. Pertanyaannya adalah apakah istilah jihad tidak boleh diserukan dalam konteks perjuangan membela NKRI karena penggunaan jihad itu dianggap sebagai bentuk paham radikal.
Untuk itu, acara Reducates akan membahas pemaknaan radikal dan mempertanyakan bagaimana istilah radikal telah menjadi regim kuasa yang bisa digunakan dan disalahgunakan untuk membungkam siap kritis kelompok maupun perorangan. Diskursus radikal bukan hanya persoalan radikalisme agama atau politik, istilah radikal juga bisa berkaitan perubahan sosial, penerimaan kepentingan umum dan konotasi positif lainnya. Persoalannya, dalam kontek Islam Indonesia, kata-kata radikal sudah menjadi dilekatkan pada paham keagamaan yang berideologi politik. Otoritas label radikal menjadi regim politik bagi negara dan kelompok dalam homoginasi keragaman paham dalam Islam. Mengingat pentinganya membicarakan makna radikal dan siapa yang berkepentingan dalam menggunakan istilah radikal, Reducates mengundang Profesor Din Syamsuddin (Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah) dan Dr. Ismail Fajrie Alatas (Assistant Professor, New York University) untuk sharing mengenai otoritas label radikal.
Referensi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210214070856-12-605984/kronologi-laporan-din-syamsuddin-dituding-radikal-ke-kasn
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (1945-1965) (Jakarta: Grafiti Press, 1987).
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia (London: McMillan, 1981).
Comments