Bencana Covid-19 menimpa semua kalangan tanpa membeda-bedakan agama, status social, maupun warna kulit. Semua umat beragama merasakan musibah Covid-19 dan berusaha untuk bisa mengatasi dengan secara maksimal. Pada saat yang sama ada juga kalangan tertentu baik dalam agama Islam maupun Kristen yang dinyatakan sebagai superspreaders. Dalam kontek Asia Tenggara, Sidney Jones mengidentifikasi kelompok-kelompok agama yang dinilai memfasilitasi penyebaran virus sebagaimana ditulis dalam IPAC Covid-19 Briefing No.4 (19 Mei 2020) (1). Di Malaysia, misalnya Tablighi ijtima dianggap sebagai salah satu muara penyebaran Covid-19. Hadi Azmi and Zam Yusa melaporkan bahwa acara yang diadakan oleh Tablighi ijtima di Sri Petaling Mosque yang dihadiri oleh kurang lebih 16000 orang, 1500 diantaranya datang dari berbagai negara termasuk Indonesia telah menjadi salah satu penyebab penyebaran virus (2). 624 dari kalangan yang terinfeksi di Malaysia datang dari peserta pertemuan yang diselengarakan pada tanggal 27 Februari hingga 1 Maret, 2020. Di Indonesia, Gereja Bethel Indonesia mendapatkan pengunjung seminar berkisar 2000 orang antara Maret tanggal 2 dan 6. 127 orang diantaranya dinyatakan positif Covid-19 (3).

Munculnya kelompok-kelompok agama yang sebagai asal muasal penyebaran virus Covid-19 erat kaitanya dengan dimensi-dimensi agama yang pada masa normal mendorong umatnya untuk berperan aktif dalam merealisasikan ajaran-ajarannya terutama dalam kontek komunitas mereka. Novak mendefiniskan agama berdasarkan pengalaman konversi kepada yang suci (sacred) dan transenden (28) (4). Agama Islam dan Kristen sudah tentu menjanjikan para pengikutnya untuk mengikuti ajaran (belief), menjalankan peribadatan (ritual), dan menyatu dalam komunitas (community) demi tercapainya kesalehan persorangan dan social. Tradisi kesalehan beragama dalam kontek social merupakan tantangan yang berat dalam periode Covid-19 karena dua hal: (1) berjamaah dalam konteks agama memiliki pahala yang beda nilai nya dengan beribadah sendirian dan (2) Kalau tidak berjamaah dalam melaksanakan ibadah atau yang dianggap ibadah, maka ada anggapan bahwa cara ibadah seperti itu kurang afdal.

Karena beragama senantiasa dilakukan dalam kontek kesolehan peribadi dan publik, kaum beragama memiliki kesulitan beradaptasi terhadap kebiasaan baru seperti menjaga jarak di publik dan juga tidak melakukan berjamaah di tempat-tempat beribadah. Bagi umat Islam Indonesia, ujian ini terasa sangat berat karena masjid dan kegiatan beragama yang dilakukan secara bersama-sama di ruang publik sudah menjadi tradisi yang mengakar. Terlebih dalam suasana puasa dan kemudian lebaran, ada tradisi munggahan (makan bersama), buka bersama, tarawih, sahur bersama dan ibadah fardhu ‘ain lainnya yang dilakukan secara berjamaah. Hal yang sama bisa dilihat diagama Kristen dimana jemaah gereja banyak melakukan kegiatan beragama dalam suasana bersama-sama di dalam gereja. Melihat kesamaan tantangan yang dihadapi oleh kaum beragama, sangatlah penting bagi kita semua untuk melihat bagaimana umat Islam dan Kristen dalam menghadapi bencana Covid-19.

Referensi

  1.  “Religious “Super-Spreaders” in Indonesia: Managing the risk of Stigmatisation,” Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Covid-19 Briefing No.4, 19 May 2020. http://file.understandingconflict.org/file/2020/05/Super-Spreaders.pdf. and https://nysean.org/blog/2020/5/19/ipac-short-briefing-4-religious-super-spreaders-in-indonesia-managing-the-risk-of-stigmatisation
  2. Hadi Azmi and Zam Yusa, “Malaysia: COVID-19 Puts Scrutiny on Tablighi Jamaat,” Kuala Lumpur and Sabah, Malaysia 2020-03. https://www.benarnews.org/english/news/malaysian/conservative-group-03202020181010.html
  3. Arya Dipa, “127 people linked to Bandung church event test positive for COVID-19,” The Jakarta Post, Thurday, April 2, 2020. https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/02/127-people-linked-to-bandung-church-event-test-positive-for-covid-19.html
  4. Michael Novak, Ascent of the mountain, flight of the dove (New York, Evanston, San Francisco, London: Harper and Row Publishers, 1978).