Al-Quran mengingatkan kita bahwa kita semua lahir tanpa pengetahuan tentang apapun. Kita semua diberi penglihatan (al-sam‘), visi (al-abshar), dan kebijakan (al-af’idah) supaya kita menjadi orang yang bersyukur (Quran, 16:78). Kalimat Quran ini sudah tentu meninggalkan banyak pertanyaan mengenai cara mencapai kebijakan. Pendidikan umum dan agama telah mengambil alih cara-cara kita untuk menjadi bijak. Kebijakan kita datang dari pengalaman belajar formal, bermasyarakat, perjalanan, dan berbagai kegiatan yang membuat hidup kita bermakna. Karena kebijakan tidak selalu bisa diukur, dalam masyarakat yang sering kita jadikan sebagai tolok ukur adalah kecerdasan (intelligence).

Kecerdasan dalam perspektif Barat digambarkan sebagai multi dimensi. Howard Gardner mendiskusikan narasi kecerdasan (intelligence) dalam tiga kontek (1). Pertama, kecerdasan didiskusikan dalam narasi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Hanya manusia dianggap sebagai makhluq yang memiliki kecerdasan. Kedua, kecerdasan juga di didefinisikan sebagai karakter yang menjadi pembeda antara sesama sehingga ada kalangan yang dianggap lebih cerdas dibandingkan yang lainnya. Ketiga, kecerdasan dihubungkan dengan kapasitas seseorang dalam meghadapi atau mengeksekusi sebuah tantangan dan menyelesaikannya dengan baik atau tidak. Definisi ketiga ini kemudian berkembang dan dikenal menjadi kecerdasan multidinesi (multidimensional intelligence). Kecerdasan multi-dimensi meliputi hal-hal sebagai berikut (2):

Kecerdasan verbal/Bahasa (verbal/linguistic intelligence)

Kecerdasan dalam mengekpresikan diri dalam bicana dan menulis;

Kecerdasan matematik/logik (mathematical/logical intelligence)

Kecerdasan berupa kemampuan dalam mengalisis problem, bekerja dengan number, logika, dan hubungan yang abstrak;

Kecerdasan visual (visual intelligence)

Kecerdasan dalam mengekpresikan, mengorganisasikan, dan memahami ide-ide secara visual;

Kecerdasan gerakan badan (bodily-kienestic intelligence)

Kecerdasan dalam mengontrol posisi bodi dalam gerakan atau bisa melakukan gerakan secara intuitif sesuai bidang yang digeluti seperti dansa, tarian atau olah raga;

Kecerdasan musik (musical intelligence)

Kecerdasan diindikasikan dengan kemampuan merangkai, mendengar, and mengekpresikan melodi secara dengan kemampuan yang memukau;

Kecerdasan intrapersonal (interpersonal intelligence)

Kecerdasan yang menjelma dalam nilai-nilai dan pengenalan perasaan dirinya yang bisa mendorong untuk melakukan sesuai secara reflektif dan intuitif.

Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)

Kecerdasan yang menjelma dalam nilai-nilai, motivasi, dan pengenalan perasaan orang lain yang mempermudah kesuksesan dalam kepemimpinan;

Kecerdasan alam (naturalist intelligence)

Kecerdasan dalam memahami pola-pola dalam alam semesta secara detail.

Meskipun kecerdasan ini beragam, Gardner mengatakan bahwa kecerdasan spiritual boleh dikatakan tidak memenuhi kualifikasi dalam teori yang disampaikan karena dua hal: 1. Kecerdasan tidak bisa didefinisikan berdasarkan pengalaman fenomeologis seseorang—perasaan kagum (awe) yang tidak bisa dikomputasikan dan 2. kemampuan untuk bisa memahami hubungan dengan Tuhan atau hal-hal yang berhubungan dengan dunia ghaib tidak bisa diukur dengan kontek definisi tentang kecerdasan.

Betulkan kecerdasan spiritual tidak bisa didefinisikan? Dalam Islam, kecerdasan (intelligence) berhubungan kapacitas narasi aqal. Quran menyebutkan istilah aqal dalam berbagai bentukan kata-kata dan kalimat lebih dari seratus kali. Para pemikir Islam sudah lama memikirkan narasi akal sebagai bentuk dari proses pembentukan kecerdasan. Ibn Sina, ahli filsafat Islam abad pertengahan (meninggal 1037), merumuskan kecerdasan dalam bungkusan teori Aristotle dan Islam. Dia membagi teori jati diri manusia (self/soul) menjadi tiga entitas (3). Pertama, entitas yang berkenaan perkembangan dan sirkulasi tubuh (vegetative soul). Jenis jati diri ini boleh dikatakan ada dalam semua makhluk yang hidup dimana memerlukan makanan dan minuman untuk tumbuh dan berkembang. Bagian entitas kedua berhubungan dengan penggerak emosi, gerakan, dan motivasi, namanya jati diri kebintangan (animal soul). Jenis jati diri kebinantangan ada pada manusia dan binatang dengan fungsi meregulasi bagian mekanisme internal dan eksternal diri manusia. Secara eksternal, jati diri kebinantangan berkenaan dengan kekuatan melihat, menyentuh, merasakan, mencium, dan lainnya. Adapun kekuatan internal dari jati diri kebinantangan termasuk kemampuan marah, imaginasi, abtraksi, motivasi, dan penggerak lainnya. Entitas ketiga dikenal dengan jati diri kemanusiaan (human rasional soul) yang hanya dimiliki manusia dan memiliki fungsi untuk memproses keputusan rasional, deduksi, dan teorom (theorem) yang universal. Jenis jati diri kemanusiaan (human rasional soul) ada dua: (1) kecerdasan yang bersifat praktikal (theoretical intellect) seperti kemampuan mengendalikan keputusan dan perbuatan praktis dalam kehidupan sehari-hari dan (2) kecerdasan yang bersifat teoritis (theoretical intellect). Kedua jenis jati diri ini oleh Rahman disebut sebagai kecerdasan (intelligence) (32). Biasanya kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan merumuskan, mengorganisasikan baik secara universal maupun partikular, mengekpresikan secara verbal dan tulisan, dan mengamalkan secara bijak. Kecerdasan yang bersifat teoritis (theoretical intellect) ini bisa menghantar pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai ketuhanan. Berdasarkan pemikiran pemikiran Ibn Sina jelas bahwa kecerdasan spiritual itu ada dalam fitrah manusia.

Referensi

  1. Howard E. Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice (New York: Basic Books, 2006), 32-34.
  2. Dave Ellis, Becoming a Master Student (St. Charles, IL: Houghton Mifflin, 2009), 37.
  3. Avicenna and Fazlur Rahman, Avicenna's psychology: an English translation of Kitāb al-najāt, book II, chapter VI, with historico-philosophical notes and textual improvements on the Cairo edition (Ann Arbor, Mich.: UMI Books on Demand, 2004).